Beberapa
tahun terakhir ini, sepakbola profesional Indonesia sudah mulai
menunjukkan tanda-tanda adanya kewirausahaan dalam sepakbola. Namun,
sangat disayangkan kewirausahaan sepakbola belum menemukan bentuk. Ada
beberapa klub yang memulainya, tetapi yang lainnya masih sangat
(berharap) mengandalkan pendanaannya dari APBD. Klub-klub yang
pendanaannya didukung oleh perusahaan induknya memang tidak terikat
dengan APBD tetapi perilaku menyusu sejak bayi kepada perusahaan
donornya masih terlihat hingga kini yang usianya sudah masuk remaja.
Sementara
itu, kewirausahaan sebuah klub haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip
bisnis yang lazim sebagai sebuah badan usaha atau perusahaan (firm).
Tujuan klub profesional sebagai unit bisnis adalah untuk menghasilkan
keuntungan (profit). Ini berarti, klub profesional hanya semata-mata
untuk menghasilkan keuntungan dengan cara membangkitkan energi sepakbola
melalui mekanisme fungsi marketing, operation, human resource dan
finance.
Dengan
demikian, sebuah klub profesional boleh saja sumber keuangannya dari
mana saja bahkan dari APBD sekalipun (tetapi tetap harus dihindari),
asalkan mekanismenya benar (penempatan dana sebagai saham) dan ada
pertanggungjawaban (akuntabilitas) dalam bentuk pengembalian yang jelas.
Untuk bisa mengembalikannya harus mampu mengcreate pemasukan (income)
yang besar seperti dari hasil penjualan tiket, penjualan merchandise,
sponsorship, hak siar, margin nilai transfer pemain dan pelatih. Besar
kecilnya jumlah pemasukan ini sangat tergantung pada pengorganisasian
klub yang benar dengan menerapkan prinsip-prinsi manajemen operasi klub
yang komprehensif.
Fungsi
pemasaran dan fungsi operasi menjadi kunci sukses pengelolaan sebuah
klub profesional. Potensi konsumen sepakbola Indonesia begitu
besar, hal ini mengacu pada tingginya kesadaran nasional terhadap
sepakbola. Mempertemukan tujuan perusahaan (klub) dengan animo penonton
sepakbola adalah sebuah ruang bisnis yang potensinya sangat luar biasa.
Dalam hubungan ini, sepakbola sendiri sebagai produk jasa, maka yang
dijual adalah mutu permainan, kualitas pemain dan kemampuan pelatih,
kualitas penyelenggaraan termasuk kualitas infrastruktur (stadion). Jika
produk ini sudah menjadi target, maka dengan sendirinya akan mudah
memasarkan kegiatan klub profesional menjadi bisnis yang komersial,
memudahkan manajemen klub untuk mengkreasi produk-produk turunannya.
Jika
penciptaan produk itu sudah diterima baik oleh pasar (pasar bukan saja
penonton sepakbola, juga termasuk sponsor, televisi, pemasang iklan)
maka jika ingin melompat ke bisnis yang lebih besar maka akan mudah
mendapat pasokan dana, karena investor akan berloma-lomba untuk
menanamkan modalnya. MU, Chelsea, Liverpool dan Arsenal di Liga Inggris
menjadi klub-klub besar sesungguhnya bukan karena orang Inggris maniak
sepakbola, tetapi karena kemampuan mereka menjalankan marketing dan
operation klub sebagai sebuah perusahaan. Klub-klub profesional itu
mampu mempertontonkan kualitas sepakbola tidak hanya di pasar domestik
tetapi juga di dunia internasional.