Thursday 24 January 2013

Sepakbola, Lahan Bisnis Bagi Wirausahawan

Beberapa tahun terakhir ini, sepakbola profesional Indonesia sudah mulai menunjukkan tanda-tanda adanya kewirausahaan dalam sepakbola. Namun, sangat disayangkan kewirausahaan sepakbola belum menemukan bentuk. Ada beberapa klub yang memulainya, tetapi yang lainnya masih sangat (berharap) mengandalkan pendanaannya dari APBD. Klub-klub yang pendanaannya didukung oleh perusahaan induknya memang tidak terikat dengan APBD tetapi perilaku menyusu sejak bayi kepada perusahaan donornya masih terlihat hingga kini yang usianya sudah masuk remaja.

Sementara itu, kewirausahaan sebuah klub haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip bisnis yang lazim sebagai sebuah badan usaha atau perusahaan (firm). Tujuan klub profesional sebagai unit bisnis adalah untuk menghasilkan keuntungan (profit). Ini berarti, klub profesional hanya semata-mata untuk menghasilkan keuntungan dengan cara membangkitkan energi sepakbola melalui mekanisme fungsi marketing, operation, human resource dan finance.

Dengan demikian, sebuah klub profesional boleh saja sumber keuangannya dari mana saja bahkan dari APBD sekalipun (tetapi tetap harus dihindari), asalkan mekanismenya benar (penempatan dana sebagai saham) dan ada pertanggungjawaban (akuntabilitas) dalam bentuk pengembalian yang jelas. Untuk bisa mengembalikannya harus mampu mengcreate pemasukan (income) yang besar seperti dari hasil penjualan tiket, penjualan merchandise, sponsorship, hak siar, margin nilai transfer pemain dan pelatih. Besar kecilnya jumlah pemasukan ini sangat tergantung pada pengorganisasian klub yang benar dengan menerapkan prinsip-prinsi manajemen operasi klub yang komprehensif.

Fungsi pemasaran dan fungsi operasi menjadi kunci sukses pengelolaan sebuah klub profesional. Potensi konsumen sepakbola Indonesia begitu besar, hal ini mengacu pada tingginya kesadaran nasional terhadap sepakbola. Mempertemukan tujuan perusahaan (klub) dengan animo penonton sepakbola adalah sebuah ruang bisnis yang potensinya sangat luar biasa. Dalam hubungan ini, sepakbola sendiri sebagai produk jasa, maka yang dijual adalah mutu permainan, kualitas pemain dan kemampuan pelatih, kualitas penyelenggaraan termasuk kualitas infrastruktur (stadion). Jika produk ini sudah menjadi target, maka dengan sendirinya akan mudah memasarkan kegiatan klub profesional menjadi bisnis yang komersial, memudahkan manajemen klub untuk mengkreasi produk-produk turunannya.




Jika penciptaan produk itu sudah diterima baik oleh pasar (pasar bukan saja penonton sepakbola, juga termasuk sponsor, televisi, pemasang iklan) maka jika ingin melompat ke bisnis yang lebih besar maka akan mudah mendapat pasokan dana, karena investor akan berloma-lomba untuk menanamkan modalnya. MU, Chelsea, Liverpool dan Arsenal di Liga Inggris menjadi klub-klub besar sesungguhnya bukan karena orang Inggris maniak sepakbola, tetapi karena kemampuan mereka menjalankan marketing dan operation klub sebagai sebuah perusahaan. Klub-klub profesional itu mampu mempertontonkan kualitas sepakbola tidak hanya di pasar domestik tetapi juga di dunia internasional.

Sebaliknya di Indonesia, masyarakat sepakbola adalah konsumen masif sepakbola yang potensial untuk digerakkan sebagai ruang bisnis sepakbola. Hanya saja belum digarap secara maksimal. Potensinya sudah terlihat sejak lama, karena itu klub profesional harus mewujudkannya, dan bagaimana klub menggerakkannya sangat diperlukan tatakelola yang baik. Klub sebagai pelaku bisnis diharapkan mampu menerapkan manjemen klub yang profesional dan pengelola liga sebagai regulator yang mampu memberi arah yang tepat dalam menuju industri sepakbola. Industrialisasi sepakbola di Indonesia sangat tergantung pada kinerja pelaku bisnis dan regulator bisnis sepakbola ini (blogdetik.com).


 
Design by ThemeShift | Edited by Daily Herza | Pasang Iklan Disini